Kembali ke Sumpah Palapa

Ida Bagus Egi Dananjaya, S.sos (Rohaniwan Hindu)

Om Swastyastu. Om Saraswati namastubhyam, Varade kama rupini, Siddharambha karisyami, Siddhir bhawantu me sada.

Sahabat Dharma yang berbahagia, Semoga semua dalam keadaan baik, sehat, dan sejahtera. Mimbar Hindu kali ini mengangkat tema tentang "Kembali ke Sumpah Palapa”.

Ada tiga point penting yang akan dibahas. Pertama, mengetahui inti Kiasan dan Makna Sumpah Palapa yang digaungkan Patih Amangkubumi Kerajaan Majapahit, Gadjah Mada. Kedua, memetik semangat juang dan kegigihan Gadjah Mada untuk diterapkan di masa sekarang. Dan ketiga, mengajak umat beragama untuk memeluk agama yang moderat guna tercapainya Indonesia Maju.

Sahabat Dharma yang berbahagia. Kita ketahui bersama bahwa dahulu di Pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang bernama Majapahit. Kerajaan ini adalah bekas pemerintahan dari kerajaan yang sebelumnya berdiri, yaitu Kediri (1042-1222) dan Singasari.

Majapahit awalnya adalah sebuah hutan yang bernama hutan tarik di Trowulan saat ini. Nama Trowulan diambil dari kata Reang Bulan. Sebab, di tengah hutan tersebut, ada ladang yang sangat luas. Sehingga, saat malam, sinar rembulan bersinar terang.

Sebelum berdiri Majapahit, kerajaan tersebut bernama Kerajaan Kediri. Raja terakhirnya adalah Jayakatwang yang sebelumnya melakukan kudeta terhadap Prabu Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singosari. 

Sejarah seperti berulang. Dulu, Kerajaan Kediri dikudeta Ken Arok pendiri Kerajaan Singosari. Lalu, Kerajaan Singosari digulingkan oleh Jayakatwang yang merupakan keturunan asli dari Kerajaan Kediri. Dia merasa sakit hati karena leluhurnya dilengserkan pendiri Kerajaan Singosari.

Saat Jayakatwang melakukan kudeta, semua petinggi Kerajaan Singosari berhasil ditumpas, kecuali Raden Wijaya, menantu Prabu Kertanegara. Saat itu, kebetulan Raden Wijaya tidak berada di kerajaan. Mendengar kabar dihancurkannya Kerajaan Singosari oleh Jayakatwang, Raden Wijayapun mengungsi di kerajaan Sumenep yang saat itu dipimpin Raja Arya Wiraraja.

Arya Wiraraja sangat menghormati Raden Wijaya karna kerendahan hati dan kebaikannya. Namun, Arya Wiraraja juga menjalin hubungan diplomatis yang baik dengan Jayakatwang. Karena bujukan dan kompromi antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, akhirnya Jayakatwang mengampuni Raden Wijaya. Ia pun diberi lahan hutan untuk membuka pemukiman. Hutan tersebut bernama Hutan Tarik dan di tengahnya ada ladang yang luas sehingga saat malam sinar rembulan sangat bebas menyinari tempat tersebut.

Tempat itu dinamai Trowulan atau Terang Bulan. Di hutan tersebut, banyak pohon Maja yang sangat pahit. Raden Wijaya lalu menamai pemukiman tersebut dengan nama MajaPahit.

Selang beberapa saat kemudian,  Raden Wijaya mendapat kabar bahwa pasukan kerajaan Mongol yang mempunyai dendam dengan Kerajaan Singasari telah tiba. Mereka datang untuk membalaskan dendamnya di Tanah Jawa. Raden Wijaya lalu memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerbu Jayakatwang bersama Pasukan Mongol yang sangat besar. 

Dengan mudah, Jayakatwang berhasil dikalahkan. Saat pasukan Mongol lengah, Raden Wijaya beserta pasukannya berbalik haluan menyerang dan memukul mundur Pasukan Mongol. Raden Wijaya lalu dinobatkan menjadi Raja Pertama Majapahit pada tahun 1293M. Tahun ini lalu dicatat sebagai tahun lahirnya Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Majapahit awalnya hanya melingkupi daerah Kediri, Jombang, Mojokerto, dan Surabaya. Perlahan tapi pasti, seluruh wilayah Jawa Timur menjadi daerah kekuasaan Majapahit. Saat kepemimpinan Prabu Jayanegara, ada seorang pria perkasa nan gagah berani bernama Gajah Mada.

Awalnya Gajah Mada memimpin pasukan elit Bhayangkara atau pengawal Raja. Dia saat itu berhasil meredam beberapa pembrontakan, termasuk pembrontakan Ra Kuti dan menyelamatkan Raja. Karena itu, ia kemudian diangkat menjadi Patih Kahuripan. Saat Majapahit dipimpin Tribhuana Wijayatunggadewi, ia diangkat sebagai Mahapatih Amangkubhumi. Saat itu, ia tak segera menyetujuinya sebelum membuat jasa besar terlebih dahulu kepada Majapahit. Jasa yang dimaksud adalah menaklukan Keta dan Sadeng yang kala itu sedang memberontak kepada Majapahit.

Singkat cerita, Gajah Mada berhasil menaklukan pemberontakan tersebut. Sepulang dari menaklukan Keta dan Sedang, Gajah Mada dinobatkan sebagai Mahapatih Amangkubumi.

Saat dilantik di istana sebagai Mahapatih Amangkubumi, Gajah Mada bersumpah akan memperlebar daerah kekuaaan Majapahit hingga di luar Pulau Jawa, yang ia sebut sebagai Sumpah Palapa. Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.

Sumpah Palapa tersebut bermakna Seorang Gajah Mada akan berpuasa selama proses mewujudkan cita-citanya yaitu menyatukan seluruh nusantara. Ia tidak akan menikmati buah Palapa yang bermakna kesenangan, pantang hura-hura, sebelum cita-citanya berhasil. Jika nusantara telah bersatu, barulah ia akan melepas puasanya itu.

Tentu saja sumpah tersebut membuat gempar seisi Istana. Banyak yang bergemuruh tepuk tangan, namun ada juga yang menertawakannya. Mereka menganggap cita-cita Gajah Mada terlalu tinggi. Gajah Mada sempat merasa sakit hati akibat ejekan dari petinggi-petinggi Istana sendiri. Namun, ia tetap bertekad untuk mewujudkan impiannya itu. Dengan kegigihannya, sedikit demi sedikit ia berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan di seputaran Pulau Jawa, kecuali Sunda dan Madura.

Saat proses penyatuan nusantara ini, Majapahit terkenal akan kekuatan maritimnya yang sangat dahsyat, besar, kokoh, dan kuat. Satu kapal Maritim Majapahit konon dapat mengangkut 600 orang dan ribuan kg rempah-rempah.

Menurut Buku Sejarah Kelam Majapahit karya Peri Mardiyono, ekspansi besar-besaran di bawah Mahapatih Gajah Mada tidak semua mau dilakukan dengan pendekatan diplomatis. Ada sejumlah raja yang tetap kokoh pendiriannya, sehingga terpaksa menaklukannya. Namun bukan berarti penjajahan terhadap raja-raja kecil di luar pulau Jawa ini menyebabkan kesengsaraan rakyat seperti cerita penjajahan pada umumnya. Tujuan utama dalam menyatukan seluruh nusantara ini justru untuk memperkuat seluruh raja-raja di luar Majapahit, baik dari segi ekonomi, perdagangan, sumber daya, kesejahteraan, dan perlindungan wilayah dari serangan-serangan bangsa Asing. Dengan bersatunya nusantara, tentu kerjasama dagang, sumber daya, militer, dan politik mudah untuk dilakukan sehingga memakmurkan nusantara itu sendiri tanpa takut direbut bangsa asing.

Majapahit juga memberi kebebasan di setiap kerajaan bawahannya untuk mengelola sumber daya, dan sosial di wilayahnya sendiri, tanpa harus menunggu persetujuan dari Majapahit. Meski begitu, butuh perjuangan selama 21 tahun bagi Majapahit untuk menyatukan nuasantara hingga Gajah Mada menuntaskannya pada Tahun 1357M. Saat itu, Majapahit mengalami masa keemasannya di bawah kepemimpinan Raja Prabu Hayam Wuruk.

Sahabat dharma yang berbahagia. Dari cerita singkat tadi, kita bisa memetik pelajaran tentang dinamika perjalanan kehidupan Gajah Mada saat menyatukan nusantara. Ia bahkan sempat dicemooh oleh orang-orang penting di lingkungannya. Meski begitu, semangat juang dan kegigihan Gajah Mada patut diteladani sekarang. Seseorang pasti pernah mengalami jatuh bangun, kesulitan, bahkan remehan dari orang lain ketika hendak mewujudkan impiannya, bahkan banyak yang menganggapnya negatif meski sudah diberitahu tujuan mulia dari cita-cita itu. Seseorang hendaknya banyak belajar dari bagaimana Gajah Mada berpuasa dan tidak bersenang-senang sebelum menggapai impiannya. Ini memberi pelajaran kepada Generasi Muda saat ini bahwa kita jangan dulu jumawa dan betah berada di zona nyaman sebelum apa yang kita Impikan benar-benar sudah terwujud.

Hal ini juga sempat kembali diperjuangkan Bangsa Indonesia untuk meningkatkan semangat pemuda bangsa sebelum kemerdekaan. Peristiwa itu dikenal dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah ini berbunyi: "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Tentunya sumpah-sumpah para pendahulu bangsa ini patut kita terapkan di masa sekarang, esok, dan seterusnya. Semangat juang mereka hendaknya menjadi inspirasi seluruh masyarakat di negeri ini untuk melanggengkan cita-cita mulia para pendahulu kita, yaitu menjadi bangsa yang bersatu padu yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu saya mengajak Sahabat Dharma sekalian, jangan pernah mau diadu domba oleh isu SARA. Jangan pernah mau dipecah oleh agama. Jangan pernah mau persatuan kita dirusak oleh oknum-oknum yang berkepentingan yang memiliki sifat berkhianat.

Hendaknya kita belajar dari sejarah bahwa bangsa ini mulai dari masih dalam sistem kerajaan dulu, bangsa ini selalu hancur oleh penghianatan. Bukan bangsa asing yang membuat kita rusak, tapi saudara sendiri yang telah berkhianat. Oleh karena itu, Bung Karno pernah berucap bahwa musuh yang terberat adalah rakyat sendiri.  Rakyat yang mabuk akan budaya luar dan rela membunuh bangsa sendiri demi menegakkan budaya asing.

Kata-kata bung karno inipun seakan menjadi tanda betapa sulitnya bangsa yang besar ini untuk maju karena pengaruh-pengaruh asing, baik produk maupun budaya. Kita seakan lupa kalau memiliki budaya sendiri. Sehingga, semboyan Bhineka Tunggal Ika kerap kali dilupakan. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa Indonesia kembali terpecah seperti sebelum kerajaan Majapahit berdiri karena kelalaian kita sendiri.

Oleh karena itu, marilah kita menjadi Bangsa Indonesia yang moderat, mulai dari beragama yang moderat, yang menerima setiap perbedaan, menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, menanamkan dan mengamalkan agama tanpa mengusik keyakinan orang lain, saling mengasihi dan mendukung sesama anak bangsa, serta meneruskan ajaran-agama dan budaya bangsa.

Ingatlah Sahabat Dharma sekalian, bagaimana susahnya leluhur bangsa ini menyatukan dan menguatkan nusantara. Bagaimana jerih keringat dan darah pejuang-pejuang kita dalam memerdekakan bangsa ini dari jajahan asing. Sebagai generasi penerus, hendaknya menjaga dan merawatnya dengan baik mulai dari hal yang paling sederhana yaitu menghargai sebuah perbedaan.

Yo-yo yam-yam tanum bhaktah, sraddhaya ‘rchitum achchhati, tasya-tasya ‘chalam sraddham, tam eva vidadhamy aham. Bhagawad Gita VII.21 (Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera).

Terima Kasih. Om Santih, Santih, Santih Om.

Ida Bagus Egi Dananjaya, S.sos (Rohaniwan Hindu)


Dharma Wacana LAINNYA

Pengorbanan dalam Perspektif Hindu

Hindu, Pluralitas, dan Gotong Royong

Penguatan Nilai Kearifan Lokal untuk Jaga Kerukunan

Keluarga Sukhinah

Wacika Parisudha: Membangun Hita melalui Kata

Esensi Kemanusiaan dalam Hindu

Toleransi Beragama

Cinta Kasih Menebarkan Kedamaian

Ajaran Hindu tentang Bijak Bermedia Sosial