Moderasi Beragama dalam Ajaran Hindu

Desak Made Alit Armini, SPd.H (Rohaniwan Hindu)

Om Swastyastu. Om Awighnam Astu Namo Siddham. Om Anobadrah Krtavo Yantu Wisvatah. Umat sedharma yang berbahagia. Keragaman etnis, suku, bahasa, budaya dan agama menempatkan bangsa Indonesia dalam posisi yang rentan mengalami konflik sosial. Keragaman agama menjadi hal yang paling sensitif untuk menimbulkan konflik. Hal ini dikarenakan agama adalah perihal keyakinan, dan sangat sensitif ketika mengusik keyakinan seseorang, terlebih keyakinan personal dengan Tuhannya.

Moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi beragama sangat diperlukan untuk menghindari munculnya “Agama Berwajah Ganda”, dimana satu waktu, agama seringkali menampakkan perdamaian, keselamatan, persatuan, dan persaudaraan, tetapi di lain kesempatan menampakkan wajah yang garang, penyebab konflik, bahkan peperangan antar sesama manusia. 

Moderasi berasal dari kata moderat yang merupakan kata sifat, turunan dari kata “moderation”, yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Inggris “moderation”, yang berarti kesedangan tidak berlebihan dan tidak kekurangan dalam hal ini berarti “seimbang”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderasi diartikan tidak melaksanakan kekerasan atau tidak melaksanakan keekstriman. Maka jika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti menuju pada tingkahlaku mengurangi kekerasan atau menghindari keekstriman dalam cara pandang sikap dan praktik beragama. 

Moderasi beragama dalam ajaran Hindu juga dapat dilihat dalam konsep ajaran Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana, dan Catur Paramita. Tujuan ajaran ini adalah menuntun umat Hindu agar menjadi kaum moderat yang mampu selalu bersikap tenggang rasa di tengah berbagai perbedaan yang ada. 

Tri Kaya Parisudha adalah tiga kemampuan yang harus disucikan dalam hidup bersama dengan orang lain. Pertama, manacika, yaitu kemampuan berpikir baik dan benar. Kedua, wacika, yaitu kemampuan berkata-kata yang baik dan benar. Dan ketiga, kayika, yaitu kemampuan untuk bertingkah laku yang baik dan benar.   

Konsep ajaran Tri Kaya Parisudha ini apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan melahirkan hubungan/relasi sosial yang harmonis. Sebagaimana dalam ajaran Hindu juga dikenal tiga penyebab kebahagiaan atau keharmonisan yang disebut Tri Hita Karana. 

Ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan manusia dengan Tuhan (Perhyangan), hubungan dengan sesama manusia (Pawongan), dan hubungan dengan alam sekeliling (Palemahan). Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya.

Menghargai sesama aspek di sekelilingnya akan menciptakan hubungan yang harmonis, terutama dalam konteks moderasi beragama aspek pawongan memegang khasanah yang cukup menonjol. Moderasi beragama bukanlah mempermasalahkan agamanya, melainkan pemeluk dari agamanya yang tidak lain adalah manusia. Melalui konsep Pawongan agama Hindu mengisyaratkan semua manusia adalah wajib untuk saling bahu-membahu membangun peradaban yang humanis kendati ditengah pluralitas beragama yang cukup tinggi. Membangun hubungan yang harmonis dalam konsep Hindu dapat diterapkan dengan mengamalkan ajaran Catur Paramita.  

Umat sedharma yang berbahagia. Catur Paramita merupakan empat landasan dan pedoman untuk mewujudkan budi pekerti yang luhur. Empat landasan yang dimaksud adalah Maitri (sikap bersahabat), Karuna (sikap welas asih atau kasih sayang), Mudita (sikap simpatik), dan Upeksa (sikap tenggang rasa atau toleran). Keempat landasan dalam Catur Paramita ini adalah kunci membangun peradaban yang multikultur. Aabila semua konsep ajaran ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka konflik yang terjadi atas dasar perbedaan terutama perbedaan agama tidak akan terjadi. 

Sikap moderasi beragama bukan berarti menjadi rendah diri, bukan berarti bahwa apa yang diyakini tidak memiliki kebenaran. Sikap moderasi beragama menunjukkan bahwa sebagai umat sangat berjiwa besar. 

Hal ini dipertegas juga dalam petikan sloka Wasudaiva Kutumbakam dalam Maha Upanisad 6.72: “Ayam bandhurayam neti gananā laghuchetasām, Udāracharitānām tu vasudhaiva kutumbakam”. Artinya: "Pemikiran bahwa hanya dialah saudara saya, selain dia bukan saudara saya - adalah pemikiran dari orang yang berpikiran sempit. Bagi mereka yang berwawasan luas, atau orang mulia, mereka mengatakan bahwa seluruh dunia adalah satu keluarga besar." 

Dari uraian di atas, sejatinya ada empat sikap moderat yang dibutuhkan dan juga diharapkan menjadi dasar laku kita dalam hidup sehari hari, hidup bermasyarakat dan hidup bernegara dalam mewujudkan moderasi beragama. Pertama, Sikap Terbuka, sikap untuk bersedia mendengar dan menerima pendapat orang lain. 

Kedua, sikap yang bersedia menghargai perbedaan. Kita hidup dalam perbedaan, kita harus bersedia dan bisa menerima perbedaan itu. Kita harus menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. Sebab kita tidak hidup sendiri. Kita ada di antara orang lain. Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa kita punya kelemahan, orang lain juga punya kelemahan, kita punya kelebihan orang lainpun punya kelebihan. Oleh karena itu, maka kita harus bersedia mengakui perbedaan dan kita merasa nyaman dengan perbedaan itu.

Ketiga, sikap rendah hati tentu sederhana, sopan, tidak sombong, tidak meninggikan diri di hadapan orang lain, apalagi dengan merendahkan orang lain. Keempat, memberi maaf. Dengan menyadari bahwasanya manusia itu tidak sempurna, maka meminta maaf atas kesalahan yang kita perbuat dan memaafkan kesalahan orang lain adalah keniscayaan. Orang yang demikian itu disebut orang yang berbudi luhur dan patut disebut manusia sejati”. Empat hal ini sebagai penanda dan sekaligus pedoman bagi kita semua untuk hidup dan bersikap moderat.

Sikap moderasi beragama menunjukkan bahwa sebagai umat sangat berjiwa besar.  Memposisikan diri pada sikap keterbukaan akan perbedaan akan memberikan ruang bagi berkembangnya nilai-nilai kehidupan yang harmonis. Agama Hindu dengan konsep ajarannya menuntun umat manusia untuk bisa menerima perbedaan sehingga toleransi dalam keberagaman dan unity in diversity dapat terwujud.

Umat sedharma yang berbahagia semoga pelita dharma ini dapat bermanfaat bagi kita untuk menguatkan keberagaman kita di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Om Santih, Santih, Santih Om

Desak Made Alit Armini, SPd.H (Rohaniwan Hindu)


Dharma Wacana LAINNYA

Pengorbanan dalam Perspektif Hindu

Hindu, Pluralitas, dan Gotong Royong

Penguatan Nilai Kearifan Lokal untuk Jaga Kerukunan

Keluarga Sukhinah

Wacika Parisudha: Membangun Hita melalui Kata

Esensi Kemanusiaan dalam Hindu

Toleransi Beragama

Cinta Kasih Menebarkan Kedamaian

Ajaran Hindu tentang Bijak Bermedia Sosial