Sapta Timira Dalam Etika Dan Tata Susila Hindu

Prof. Dr. Ir. I Nyoman Sutantra MSc. (Cendekiawan Hindu)

Om Swastyastu. Pada zaman kali yang penuh kebebasan dan disertai dengan Revolusi Industri 4.0, atau era teknologi informasi dan internet, berbagai godaan baik internal dan eksternal akan datang mengganggu kehidupan umat manusia. Kebebasan yang tanpa dibingkai oleh moral, etika, dan tata krama, serta didukung oleh teknologi informasi dan internet, akan dapat berbuah kreasi dan inovasi manusia yang merusak tatanan kehidupan. Ia dapat merusak kerukunan, kedamaian, dan juga keharmonisan. 

Kreasi dan inovasi yang destruktif akan dapat menjauhkan umat manusia dari perjalanan dharma menuju kehidupan Moksartham Jagadita. Mimbar Hindu kali ini mengangkat tema “Sapta Timira Dalam Etika Dan Tata Susila Hindu”, membahas tujuh hal yang patut untuk dihindari karena ia dapat membuat manusia mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Keluhuran Ajaran Hindu
Ajaran Hindu yang tertuang dalam Pustaka Suci Weda bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa disebut Sanatana Dharma. Ajaran ini mengandung ilmu Spiritual (Para Widya) dan ilmu Material (Apara Widya) sebagai tuntunan perjalanan Jasmani dan Rohani manusia dalam pendakian Moral-Spiritual untuk membangun kehidupan jasmani yang Moksartham Jagadita dan kehidupan rohani menuju kembali kepada Sang Pencita (Tuhan Yang Maha Esa), atau Sangkan Paraning Numadi.

Dengan pendakian moral dan spiritual maka manusia mencapai dharma, yaitu kebenaran pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dengan dharma itulah manusia akan dapat mencapai kehidupan Moksartham Jagadita (moksa salaka) dan mencapai Moksa (moksa niskala), yang lazim dikatakan Moksartham Jagadita Ya Ca Iti Dharma.

Perjalanan hidup umat Hindu dituntun oleh para dan apara widya di jalan dharma (kebenaran) untuk meningkatkan moral dan spiritual agar menjadi manusia yang berkarakter dan berbudhi pekerti luhur. Dengan karakter dan budhi pekerti luhur itulah umat Hindu akan membangun kehidupan yang Moksartham Jagadita. Yaitu kehidupan yang rukun, damai, harmonis, adil, dan sejahtera dalam kebhinekaan budaya, adat istiadat, tradisi, dan kearifan local Nusantara. Ajaran Hindu yang luhur itu akan mengantarkan umat Hindu untuk membangun kehidupan yang rukun, damai, dan harmonis di dalam Taman Sari nilai nilai luhur budaya dan kearifan lokal Nusantara yang bhinneka. 

Umat Hindu meyakini bahwa: “Jika kita berjalan di jalan dharma (kebenaran), maka dharma (kebenaran) akan melindungi kita, dan mengantar kita untuk mencapai kehidupan yang Moksartham Jagadhita (moksa sakala). Dengan menegakkan dharma di jalan dharma umat manusia akan mencapai kehidupan jasmani yang Moksartham Jagadhita atau disebut Moksa Sakala, dan mencapai tujuan rohani yaitu menyatu kembali dengan Sang Pencipta, sangkan paraning numadi, atau moksa niskala.”

Pendakian Moral-Spiritual
Dalam menuntun perjalanan pendakian moral dan spiritual, umat manusia mencapai puncak perjalanan dharma. Ajaran Hindu yang berisikan para dan apara widya diwujudkan dalam kerangka dasar agama Hindu yaitu, Tattwa, Etika, dan Acara. Tattwa dalam agama Hindu adalah landasan atau filsafat yang merupakan lima dasar keyakinan umat Hindu dan yang menjadi tuntunan dalam pendakian spiritual dan moral untuk mencapai dharma yang dapat membangun kesucian, kearifan, kebijaksanaan pikiran, atau kecerdasan spiritual. 

Dalam Bhagavad Gita Bab XVIII.30 dikatakan: Pravrttim ca niverttim ca kaaryaakarye bhayaabhaye bandham moksam ca yaa vetti buddhih saa paartha saattviki, yang artinya, “Kecerdasan dengan mana orang bisa mengetahui dan membedakan kegiatan sosial dan kegiatan spiritual, apa yang patut dilakukan dan tidak patut dilakukan, apa yang perlu dan tidak perlu dicemaskan, dan apa saja yang mengikat orang untuk berada tetap di alam kesengaraan dan apa saja yang membebaskan orang dari dunia maya ini. Wahai Arjuna, kecerdasan seperti itu adalah keceradasan yang berada dalam sifat kebaikan (satwika), atau kecerdasan spiritual (SQ)”. 

Kecerdsan satwika atau kecerdasan spiritual (SQ) adalah menjadi buah utama dari lima dasar keyakinan yang terkandung dalam Tattwa. Dasar keyakinan yang pertama adalah Brahma Tattwa, yaitu kesadaran, keyakinan akan keberadaan, kenirgunaan, kesagunaan, dan juga keesaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pemralina. Tatwa yang pertama ini juga mengandung kesadaran dan keyakinan bahwa Tuhan mempunyai sifat Jnana Sakti (maha mengetahui), Prabhu Sakti (maha kuasa), Krya Sakti ( maha karya), dan Wibhu Sakti (maha ada). 

Kedua adalah Atma Tatwa, yaitu keyakinan bahwa manusia adalah sebagai makhluk Rohani dan juga Jasmani, keyakinan bahwa jati diri manusia adalah Jiwa, atau Atman, dimana Suksma dan Stula Sarira adalah ibarat busana bagi Sang Atman atau Sang Jiwa. Atma Tattwa juga mengandung keyakinan bahwa Atman adalah sinar suci Tuhan, bahkan disebut little Brahman. Dari keyakinan inilah munculnya konsep Tat Twam Asi, yang mengandung arti bahwa semua umat manusia adalah sama yaitu Tat (Jiwa), yang berbeda adalah jasani dan karmanya. Konsep Tat Twam Asi sebagai sebagai tuntunan etika umat manusia dalam usaha membangun kehidupan rukun, damai, dan harmonis. 

Ketiga adalah Karmapala Tattwa, yaitu keyakinan bahwa swadharma atau kewajiban suci manusia dalam hidup adalah berkarma baik yaitu, berpikir, berbicara, dan berbuat baik kepada semua ciptaan Tuhan, serta tidak menyakiti yang lain dengan pikiran, perkataan, dan perbuatan. Karmapala Tatwa juga mengandung keyakinan bahwa karma yang baik akan berbuah, berpahala yang baik, dan sebaliknya karma yang tidak baik akan berbuah kesengsaraan, baik di bumi maupun di akherat. 

Keempat adalah Punarbawa Tattwa, yaitu keyakinan bahwa jasmani, suksma dan stula sarira manusia akan terus berubah dari bayi, remaja, tua dan kemudian mati, jasmani kembali pada asalnya yaitu panca maha buta, sedangkan Atman tetap kekal. Atman yang masih terikat duniawi sebelum bisa kembali kepada Sang Pencipta, ia akan terus mencari jasmani yang baru untuk melakukan karma suci agar dapat melepaskan diri dari ikatan duniawi dan kembali kepada Sang Pencipta. 

Kelima adalah Moksa Tattwa, yaitu keyakinan bahwa tujuan kehidupan jasmani manusia adalah mencapai kehidupan Moksartham Jagadita (moksa sakala), dan rohani manusia mencapai Moksa yaitu kembali kepada Sang Pencipta. Ini juga mengandung keyakinan bahwa tujuan kehidupan jasmani dan rohani tersebut dapat dicapai hanya dengan jalan dharma.

Sapta Timira
Jika di atas dijelaskan bahwa Tattwa adalah menjadi tuntunan pendakian moral dan spiritual, maka Etika atau Susila dan tata krama adalah tuntunan bagi umat manusia untuk membangun karakter dan budhi pekerti luhur yang mampu membangun kehidupan yang rukun, damai, harmonis, tenteram, adil, dan sejahtera atau kehidupan Mokshartham Jagadita. Etika atau tata Susila agama Hindu mengandung tuntunan yang patut atau wajib di ikuti dan juga ada yang wajib dihindari. Tuntunan etika atau tata Susila yang wajib diikuti diantaranya: Tri Kaya Parisuddha, Tri Hita Karana, Vasudaiva Kutum Bakam, Tat Twam Asi, dan lain lain. Sedangkan salah satu dari sekian banyak konsep etika yang wajib untuk dihindari adalah Sapta Timira.

Pada jaman Kali seperti sekarang ini banyak sekali godaan yang dapat membuat orang menjadi mabuk sehingga kehilangan kearifan kebijaksanaan dalam pikiran, kesantunan dalam perkataan, dan juga keadilan dalam tindakan. Sapta Timira terdiri dari dua kata yaitu “sapta” artinya tujuh, dan “timira” artinya mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dengan demikian maka Sapta Timira mengandung arti, tujuh hal yang dapat mengakibatkan orang kehilangan kearifan kebijaksanaan dalam pikiran, kesantunan dalam perkataan, dan keadilan dalam perbuatan yang wajib dihindari. Sapta Timira wajib untuk dihindari karena ia akan dapat mengakibatkan orang bersifat jahat seperti “buto” yang dapat merusak kerukunan, kedamaian, keharmonisan, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan dalam kehidupan. Adapun tujuh hal dalam Sapta Timira yang wajib untuk dihindari adalah:

a. Surupa Timira: keindahan dan kerupawanan yang dapat membuat orang mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan. Karena rupawan seringkali orang menjadi sombong, angkuh, tinggi hati, dan juga egois sehingga merusak kerukunan, kedamaian, keharmonisan dalam kehidupan. Begitu juga bisa terjadi orang menjadi mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan sehingga bisa merusak, mengacau, menyakiti, dan bahkan membunuh orang lain atau juga dirinya sendiri karena mabuk cinta terhadap kerupawanan orang lain. Disini terkadung pesan luhur bahwa orang yang telah dikaruniai oleh Tuhan kerupawanan wajib menghindarkan diri dari kesombongan, keangkuhan, tinggi hati, dan keegoisan, atau harus selalu memegang teguh etika sesuai ajaran dharma. Begitu juga orang wajib selalu teguh pada etika ajaran dharma sehingga tidak dimabukkan oleh kerupawanan orang lain, serta orang yang rupawan tidak boleh membuat orang lain menjadi mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan.

b. Dana Timira: harta kekayaan membuat orang mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sering kali terjadi bahwa karena harta kekayaan yang dimilikinya membuat orang menjadi sombong, angkuh, tinggi hati, egois, dan merasa segalanya bisa dibeli dengan harta termasuk tahta dan cinta. Ia yang mabuk akan harta kekayaan sering lupa bahwa harta kekayaan yang dimilikinya adalah karena karunia Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ia menggunakan kekayaannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran dharma, yang akhirnya merusak keadilan, kerukunan, kedamaian, keharmonisan, dan ketentraman dalam masyarakat. Disamping itu juga sering terjadi bahwa karena mabuk harta, maka orang bisa menjadi serakah dan mencari atau mendapatkan kekayaan dengan segala cara, diantaranya korupsi, menipu, merampok, mencuri dan melakukan bisnis yang tidak sesuai ajaran dharma, bahkan sering meninggalkan keyakinan dan kepercayaan. Karena keserakahan terhadap harta, orang sering melupakan atau tidak empati pada orang lain sehingga dapat mengakibatkan terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebar yang akan mungkin mengakibatkan konflik sosial. Dana Timira ini mengandung pesan luhur bahwa orang harus selalu ingat ajaran dharma sehingga tidak dimabukkan oleh gemerlapnya harta kekayaan.

c. Guna Timira: kepinteran atau kepandaian dapat membuat orang mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dalam ajaran Hindu, ilmu pengetahuan para dan apara widya akan menyucikan pikiran, menuntun ucapan dan perbuatan yang benar di jalan dharma. Namun sering terjadi karena merasa pintar, pandai, atau cerdas, maka seseorang bisa menjadi sombong, angkuh, tinggi hati, egois, dan mengabaikan pendapat orang lain, menganggap orang lain semua bodoh, bahkan mencemoh serta mengejek orang lain. Orang yang mabuk dengan kepintarannya, sering lupa bahwa kepintaran yang ia miliki adalah karena karunia Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ia menggunakan kepintaran tidak sesuai dengan tuntunan ajaran dharma. Karena ego dan sombong akan kepintarannya, maka sering terjadi “ego keilmuan” yang dapat mengakibatkan konflik antar kelompok ilmuwan, bahkan bisa terjadi konflik antar ilmuwan dan teknokrat, sehingga dapat merusak kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan keharmonisan pada kehidupan masyarakat umum dan ilmiah. Sering juga terjadi karena mabuk akan kepintarannya makai ia justru melaksanakan swadharma orang lain yang bukan bidang keahliannya, dan justru meninggalkan swadharmnya sendiri, yang akan berbuah konflik kepentingan dan keilmuan. Pesan luhur dari Guna Timira ini adalah bahwa kita harus selalu ingat tuntunan dharma yaitu “Jnana Yoga Marga” sebagai tuntunan untuk mendapat dan juga memanfaatkan kepintaran di jalan dharma.

d. Kulina Timira: keturunan, strata sosial, warna atau sering diartikan kasta dapat membuat orang mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan. Karena merasa dari keturunan atau warna asrama (sering dianggap kasta) yang lebih tinggi, maka orang menjadi sombong, angkuh, tinggi hati, egois, tidak mau bergaul, meremehkan bahkan mengambil hak orang dengan keturunan lebih rendah. Sering terjadi putra para bangsawan, pejabat tinggi, dan tokoh masyarakat menjadi sombong dan angkuh, karena kurang memahami arti dan makna warna secara benar. Begitu juga bisa terjadi karena mabuk keturunan maka sering warna asrama justru sengaja diartikan sebagai kasta atau strata sosial, tingkat atau jenjang sosial dari keturunan. Didalam Pustaka suci Yajurveda XXX.5 jelas di sebutkan: Brahmane braahmanam, ksatraaya raajanyam, marudbhyo vaisyam, tapase sudram, yang artinya: “Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan brahmana untuk pengetahuan, para kesatriya untuk perlindungan, para vaisya untuk perdagangan dan para sudra untuk pekerjaan jasmaniah”. Sloka tersebut diatas juga dapat mengandung makna bahwa semua manusia adalah sama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk dapat membangun kehidupan yang rukun, damai, harmonis, adil, dan sejahtera maka setiap warna mempunyai fungsi, tugas, dan tanggung jawab suci dan luhur yang berbeda-beda. Kulina Timira mengandung pesan luhur bahwa orang tidak boleh mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan karena keturunan.

e. Yowana Timira: muda, remaja, kreatif, innovative, dan kebebasan yang tidak terkendali maka akan dapat membuat mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sering kali terjadi para yowana, muda- mudi, atau remaja karena merasa berada pada masa kebebasan, maka ia menjadi mabuk, sehingga berpikir, berkata, dan berbuat sesuatu diluar etika dan tata Susila sesuai ajaran dharma. Generasi Z yang lahir antara tahun 1997-2012 yang jumlahnya 27,94%, dan generasi Y atau melenial yang lahir antara tahun 1981-1996 yang jumlahnya 25,4%, hidup di era Revolusi Industri 4.0 yaitu era teknologi informasi dan internet, maka sering kali karena mabuk kebebasan, mereka menggunakan kreativitas dan inovasinya tidak sesuai ajaran dharma. Mereka lupa tuntunan ajaran dharma, bahwa mereka berada pada masa Brahmacari, yaitu masa untuk menuntut ilmu para dan apara widya untuk membentuk karakter dan budi pekerti luhur sebagai bekal hidup sejahtera berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan juga bernegara. Didalam Atharvaveda XI.5.1 dikatakan bahwa: Sa daadhara prthivim divam ca. Tasmin devaah sammanaso bha vanti, yang secara umum dapat diartikan, “ Seorang brahmacari menopang bumi dan langit. Semua dewata berdiam dalam diri seorang brahmacari”. Masa muda, atau masa brahmacari adalah masa untuk membangun moral spiritual, kecerdasan, imajinasi, kreativitas dan innovasi, membangun sifat kedewataan untuk menopang kehidupan yang Moksartham Jagadita.

f. Sura Timira: hindari minuman keras, “narkoba” yang dapat mengakibatkan mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan. Pada era Revolusi Industri 4.0, era bebas untuk mempruduksi segala produk yang dianggap menguntungkan, termasuk produk makanan dan minuman dengan tanpa mempedulikan dampak negatifnya. Dan kemudian menggunakan segala cara pemasaran dengan tanpa mempertimbangkan etika dan tata krama. Seringkali produk narkoba yang memabukkan pikiran, perkataan, dan perbuatan dimasukan dan juga dicampurkan pada produk produk makanan, minuman sehari hari atau disebarkan dengan segala cara, hanya demi keuntungan yang besar. Pesan moral dari Sura Timira ini adalah setiap orang tidak peduli umur, harus selalu berhati-hati, menjauhi minuman keras, narkoba yang memabukkan yang merusak kehidupan yang rukun, damai, dan harmonis.

g. Kasuran Timira: hindari keberanian, kekuatan, kesaktian, dan kewaskitaan yang dapat membuat orang mabuk pikiran, perkataan, dan perbuatan. Karena dimabukkan oleh kekuatan, keberanian, kesaktian, dan kewaskitaan, maka seringkali orang menjadi sombong, angkuh, tinggi hati, dan menggunakan kekuatannya itu untuk merusak kerukunan, kedamaian, keharmonisan, bahkan menyakiti orang lain. Disamping itu, karena mabuk akan kekuatan dan kesaktian, maka bisa terjadi orang menggunakan ritual, sloka, dan mantra mantra agama untuk mendapat kekuatan dan kesaktian dan kemudian digunakan dengan cara tidak sesuai dengan ajaran agama dharma. Sering pula terjadi bahwa kekuatan, keberanian, dan kekuasaan digunakan dengan cara diluar etika dan tata krama, untuk mendapatkan harta dan tahta. Cara cara yang tidak benar dalam menggunakan keberanian, kekuatan, dan kekuasaan akan dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pesan luhur Kasuran Timira adalah hindari cara yang tidak benar dalam mencari dan menggunakan keberanian, kekuatan, kekuasaan dan kesaktian, karena ia akan dapat menganggu kedamaian dan ketentraman masyarakat.

Ketahuilah, sadarlah, dan yakinlah bahwa Tattwa Agama akan berbuah moral, spiritual, pikiran yang arif dan bijaksana, Etika dan Tata Susila Agama akan berbuah karakter dan budhi pekerti luhur, sedangkan Acara dan Ritual Agama akan berbuah keluhuran peradaban, budaya, dan kearifan local. Yakinlah bahwa Tattwa, Etika, dan Acara Agama akan berbuah kehidupan yang Moksartham Jagadita dan Moksa yaitu kembali kepada Sang Pencipta. Dan Yakinlah bahwa dengan menghindari tujuh hal yang memabukkan sesuai Sapta Timira, umat manusia akan dijamin dapat berjalan dijalan dharma untuk mencapai kehidupan Moksartham Jagadhita.

Om Shantih Shantih Shantih Om.

Prof. Dr. Ir. I Nyoman Sutantra MSc. (Cendekiawan Hindu)


Dharma Wacana LAINNYA

Pengorbanan dalam Perspektif Hindu

Hindu, Pluralitas, dan Gotong Royong

Penguatan Nilai Kearifan Lokal untuk Jaga Kerukunan

Keluarga Sukhinah

Wacika Parisudha: Membangun Hita melalui Kata

Esensi Kemanusiaan dalam Hindu

Toleransi Beragama

Cinta Kasih Menebarkan Kedamaian

Ajaran Hindu tentang Bijak Bermedia Sosial