Prof. Duija: Masyarakat Bali Perlu Refleksi Diri lewat Pesan Tradisi Lisan

Dirjen Bimas Hindu Prof. I Nengah Duija saat menyampaikan materi dalam acara Seminar Nasional dalam rangka Memperingati 30 Tahun Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Denpasar, Bali, Jumat (15/12/2023).

BALI, (BIMAS HINDU) – Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu (Dirjen Bimas Hindu) Prof. I Nengah Duija mengatakan, masyarakat Bali perlu menengok sejenak masa lampau yang mememunculkan masalah sosial-kultural di beberapa bagian daerah di Bali.

Hal itu disampaikan oleh Dirjen Bimas Hindu dalam acara Seminar Nasional dalam rangka Memperingati 30 Tahun Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Denpasar, Bali, Jumat (15/12/2023).

“Masa lampau yang dimaksud adalah refleksi diri yang terpesankan di dalam sebuah tradisi lisan, yang terlindas oleh hiruk-pikuknya modernitas bahkan postmodernitas sekarang ini. Pemahaman terhadap sebuah tradisi diperlukan jika mau memahami lebih jauh budaya sebuah komunitas, sekecil apapun sebuah komunitas itu,” kata Prof. Duija.

Prof. Duija kemudian memaparkan tentang Satua-Satua Bali untuk penguat ekologi lingkungan. Dicontohkan oleh Prof. Duija, bila memasuki hutan Bukit Rangda memotong dahan atau menebang pohon kayu berarti menyakiti atau membunuh prebekel dan para penduduknya. Sehingga penduduk lainnya yang telah berubah menjadi kayu akan marah dan menuntut balas terhadap yang melakukan hal tersebut.

“Hingga saat ini, masyarakat yang memasuki atau sembahyang ke Bukit Rangda tidak berani memetik atau memotong kayu dengan sembarangan yang tumbuh di wilayah Bukit Rangda. Kecuali untuk bahan tapakan barong, tapel rangda, pratima, atau tapel yang akan disucikan. Itupun diawali dengan ritual atau upacara tertentu,” jelasnya.

Prof. Duija lebih lanjut mencontohkan, pohon dan binatang hutan ditempat raksasa tinggal tumbuh dengan alamiah. Karena sudah waktunya raksasa tersebut mati, maka daerah tersebut sampai sekarang bernama Sawe Rangsase yaitu mayat raksasa. Serta sampai sekarang tidak satu pendudukpun yang berani memasuki wilayah ini untuk menebang pohon, merusak hutan, berburu, kecuali untuk sembahyang.

“Sampai sekarang hutan di sekitar Yeh Memempeh tidak ada yang berani mengganggunya. Karena dipercaya sampai sekarang dua Danawa hadiah dari nenek penjual air (Ida Bhatari Danuh) masih hidup sampai sekarang. Pada hari-hari tertentu masyarakat sekitarnya akan mendengar suara mengaum dengan kerasnya. Dan dipercaya itulah suara dua Danawa hadiah dari nenek penjual air (Ida Bhatari Danuh),” papar Prof. Duija.

Selain itu, sampai sekarang orang tidak berani menebang pohon dengan sembarangan baik itu pohon milik pribadi maupun pohon yang berada di sekitar desa Tenganan. Barang siapa yang berani menebang pohon dengan sembarangan maka I Landang dan I Lundung akan menampakkan wujudnya yaitu sepasang ular yang akan menakuti si pencuri. Demikian juga masyarakat di Desa Tenganan bila mau menebang pohon harus mendapat ijin dari tetua adat. Bila ada masyarakat yang menebang pohon tanpa ijin tetua adat maka akan didenda oleh adat.

Pedanda Sakti mengutuk siapapun yang menebang pohon dengan sembarangan di kawasan Bukit Abah maka Desa Besan ini akan hancur dan mengalami kekeringan karena tidak lagi ada rembesan air dari akar-akar pohon. Sehingga sampai sekarang masyarakat tidak berani dengan sembarangan menebang pohon di sekitaran Bukit Abah karena takut akan kutukan Pedanda Sakti.

“Hal yang indah akan mudah meresap dalam jiwa seseorang, sehingga dengan demikian keberadaan Satua Bali yang berkenaan dengan alam memiliki aspek keindahan yang menjadi daya tarik tersendiri. Dengan gaya dari seorang penutur kepada yang mendengarkan akan membuat pendengar menjadi terkagum-kagum. Aspek kelangon dari pendengar terhadap juru satua merupakan nilai estetika dari satua yang di ceritakan,” tutur Prof. Duija.

Agenda ini turut dihadiri Ditjen Kebudayaan yang diwakili oleh Ketua Tim Kerja Pembinaan Kompetisi Tenaga Kebudayaan, Ketua ATL Pusat Dr. Pudentia, Keynote speaker Prof. Dr. I Nyoman Suarka, Ketua Pembina dan Anggota Pembina Yayasan Dwijendra, Ketua Pengurus Yayasan Dwijendra, Ketua Yayasan Pendidikan Widya Kerthi, dan Rektor Universitas Hindu Indonesia, Rektor Universitas Dwijendra, Para Wakil Rektor dan Dekan di lingkungan Universitas Dwijendra, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Sebelumnya, Ketua ATL Bali Prof. I Made Suastika dalam sambutannya mengatakan, sebagaimana yang diketahui bersama bahwa, Indonesia umumnya, dan Bali khususnya, memiliki sangat banyak tradisi lisan yang sarat akan nilai-nilai adiluhung yang tentu saja sangat penting untuk dilestarikan.

Akan tetapi, dewasa ini, nampaknya generasi muda sudah tidak lagi mengenal cerita rakyat. Tidak lagi mengenal tradisi-tradisi setempat, dan bahkan hal itu beriringan dengan mulai banyak muncul kasus-kasus kemerosotan moral.

“Oleh karena itu, kegiatan seminar seperti ini perlu untuk diadakan, dengan harapan tidak hanya untuk melestarikan tradisi lokal, tetapi juga untuk dapat menyebarkan lebih jauh lagi tentang nilai-nilai etika, moralitas, dan juga spiritual yang sebenarnya sudah disiapkan oleh leluhur kita melalui cerita ataupun tradisi lisan yang ada,” kata Prof. Made Suastika saat sambutan Seminar Nasional dalam rangka Memperingati 30 Tahun Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Denpasar, Bali, Jumat (15/12/2023).


Berita Pusat LAINNYA