Nasionalisme dalam Perspektif Hindu

Bagaimana konsep nasionalisme dalam Hindu? Agama Hindu mengenal ajaran Dharma Negara. Sebuah ajaran tentang pengabdian, rela berkorban, dan cinta tanah air, yang merupakan “dharma tertinggi” bagi seorang ksatria. Seorang pahlawan yang gugur di medan perang adalah seorang swadhaya yajña, karena beliau telah mengorbankan dirinya sendiri (jiwa raganya) untuk negara. Lalu, yajña apa yang kita lakukan untuk masa sekarang? Kita berjuang saat ini adalah untuk membangun negara, membangun sumber daya manusia, serta mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif. Mengenai ajaran cinta tanah air, dalam Itihasa Ramayana dicontohkan oleh Sri Rama. Sebelum meninggalkan kerajaannya, Sri Rama telah mengambil sebongkah tanah dan membungkusya dalam kain. Beliau membawa tanah tersebut selama dalam masa pengasingan. Tanah tersebut beliau bawa dengan hati-hati dan penuh rasa pengabdian. Pada saat beliau mencapai suatu lokasi di dalam hutan dan membangun pondokan, beliau membangun altar khusus untuk menaruh tanah tersebut. Beliau melakukan pemujaan setiap hari dan selalu mendoakan kerajaannya agar selalu tentram. Dalam doanya, beliau melantunkan pujian akan keagungan tanah airnya yang beliau kenang lewat sebongkah tanah yang beliau bawa tersebut. Apa yang dilakukan oleh Sri Rama merupakan contoh sikap cinta tanah air luar biasa. Namun perlu disadari bahwa cinta tanah air bukan berarti kita membawa sebongkah tanah kesana kemari. Apa yang dilakukan oleh Sri Rama adalah simbol kecintaannya terhadap tanah air. Namun, apa yang beliau lakukan untuk tanah airnya adalah pengorbanan jiwa dan raganya (swadhyaya yajna). Tanah air adalah Ibu Pertiwi, tempat Beliau dilahirkan dan dibesarkan. Untuk itu, tanah kelahiran atau negaranya adalah tanah yang paling suci melebihi daerah yang lainnya. Tanah air Indonesia merupakan ibu bagi rakyat Indonesia; Ibu Pertiwi, sehingga siapa pun yang cinta kepada sang ibu, maka dia akan menghormati dan membelanya. Penghormatan tertinggi pada Ibu Pertiwi adalah memelihara isinya, mengasihi semua makhluk ciptaan-Nya, sehingga terucap doa loka samastha sukhinoh bhawantu (Semoga semua makhluk di semesta ini berbahagia), menghargai sesama manusia dan mengasihinya sebagai saudara, sebagaimana tertuang dalam selogan Vasudaiva khutumbhakam (Kita semua bersaudara). Jika kita menghayati doa-doa yang kita ucapkan, maka kita tidak akan membebani Ibu pertiwi dengan aksi tebar kebencian, adu domba, intoleransi, radikalisme, serta perbuatan –perbuatan lainnya, yang dalam Kakawin Ramayana disebut sebagai Mala, yakni kekotoran-kekotoran atau penyakit. Guha peteng tang mada moha kasmala Malady yolanya magong mahawisa Wisata sang wruh rikanang jurang kali Kalingan ing sastra suluh nikaprabha. Artinya: Bagaikan gua yang gelap, itulah kemabukan, kesombongan, dan kekotoran. Kekotoran-kekotoran yang lainnya itu bagaikan ular yang berbisa Namun orang yang bijaksana, tenang pikiranya sekalipun berada di tempat yang menakutkan. Ibarat ajaran sastra, justru akan menjadi lampu penerang yang bersinar cemerlang.