Wacika Parisudha : Membangun Hita Melalui Kata

Pelita Dharma Wacika Parisudha : Membangun Hita Melalui Kata  oleh I Made Danu Tirta
Lokasi Pura Luhur Batukau Tabanan

Kesadaran diri untuk melakukan “filter” terhadap perkataan merupakan aspek mendasar yang perlu diupayakan. Perlu di ketahui bahwa ketika berkecimpung dalam sebuah interaksi, ataupun menjalin sebuah proses komunikasi, kita harus mampu memilah perkataan yang akan kita lontarkan. Resapi kata-kata dari dalam diri, sebelum jatuh dan
didengar oleh telinga orang lain. Kita harus mampu menghindari perkataan kasar, menghardik, jahat dan sebagainya. Sebab perkataan seperti demikian tidak sewajarnya diucapkan didalam membangun tutur kata maupun berkomunikasi dengan orang lain. Hal
tersebut sesuai dengan sebuah petikan dalam Kitab Sarasamuscaya Sloka 75 yang menyatakkan bahwa :
“Nyang tanpa prawrttyaning wak, pat kwehnya, pratyekanya, ujar ahala, ujar aprgas, ujar picuna, ujar mithya, nahan tang pat singgahaning wak, tan
ujarakena, tan angina-ngenan, kojarnya”.
Terjemahannya :
“Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong (tak dapat di percaya); itulah keempatnya harus di singkirkan dari perkataan, jangan diucapkan, jangan di pikir-pikir akan di ucapkan”. 5 Kesadaran untuk memilah kata yang akan dicupakan menghindarkan diri pada perkataan jahat. Perkataan yang mengandung maksud jahat, sangat lama diingat oleh orang yang mendengar. Perkataan jahat akan selalu terngiang, dan susah dilupakan oleh yang
terlanjur mendengar perkataan jahat itu sendiri. Perkataan jahat inilah yang dapat tumbuh menjadi dendam. Dendam yang bahkan tidak dapat dihilangkan dalam sekejap, namun selalu terkubur dan sesekali timbul kepermukaan. Oleh sebab itu, dalam Kitab Sarasamuscaya Sloka 120 perakataan jahat dianalogikan sebagai berikut :
“Ikang ujar ahala-tan pahi lawan hru, songkabnya sakatempuhan denya juga alara, resep ri hati, tatankenengpanhan turu ring rahina wengi ikang wwang denya, matangnyat, tan inujaraken ika de sang dhira purusa, sang ahning maneb manah nira”.
Terjemahannya :
“Perkataan yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah, yang di lepaskan; setiap yang di tempuhnya merasa sakit; perkataan itu meresap ke dalam hati, sehingga menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab itu tidak di ucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wiraperkasa, pun oleh orang yang tetap suci hatinya”.